Kebijakan Pemerintah menandatangani MOU mobil Nasional dengan Proton ini ditanggapi oleh berabgai kalangan. Salah satunya adalah Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengungkapkan saat ini usaha merealisasikan adanya mobnas di dalam negeri sudah terlambat. Pasalnya, kini pasar Indonesia sudah penuh sesak dengan pabrikan asing.
Enny juga mengaku heran kenapa Jokowi memilih perusahaan Proton asal Malaysia yang notabenenya belum menguasai pasar internasional. Pemilihan tersebut terkesan setengah-setengah untuk mewujudkan mimpi Jokowi membuat mobnas.
Sementara itu dari PT Solo Manufaktur Kreasi, produsen mobil Esemka, menilai kerjasama pengembangan mobil nasional seharusnya bisa menggandeng negara-negara maju yang telah menguasai teknologi mobil sehingga bisa memicu transfer teknologi.
Kemampuan penguasaan teknologi antara Malaysia dan Indonesia dinilai masih setara di dalam pengembangan industri otomotif."Sayangnya gandeng Malaysia, bukan kita merendahkan tetap kemampuan teknologi mereka sama dengan Indonesia di industri manufaktur maka kita nggak kerjasama dengan Malaysia," kata Humas Solo Manufaktur Kreasi Budhi Martono kepada detikFinance, Sabtu (7/2/2015).
Pendapat Senada disampaikan oleh Pengamat automotif Munawar Chalil mengkritisi penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Indonesia dengan Proton. Munawar mengatakan Indonesia jauh lebih banyak memiliki sumber daya untuk mengembangkan mobil Nasional. Dia menegaskan, dari sisi teknologi mobil, Indonesia jauh lebih maju dibandingkan Malaysia.
"Jika alasannya transfer teknologi, Proton hanya beli lisensi dari Mitsubishi. Kenapa tidak langsung bekerja sama dengan Mitsubishi atau merek lain, seperti Suzuki, Honda, dan Toyota,” kata Chalil.Industri automotif Indonesia, kata dia, sudah ada sejak 1927 dengan General Motors mengembangkan mobil di Tanah Air dan membangun pabrik di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
0 Response to " Kontroversi Mobil Nasional Proton "
Post a Comment